
Walaupun tempat itu berada pada lokasi yang berjarak lebih 80 km dari pusat gempa Mentawai, yang mengguncang 25 November lalu, namun resor ini tak bisa menghindar dari terjangan tsunami yang menyertai gempa tersebut.
Ketika goyangan gempa sekuat 7,2 Skala Richter dirasakan pada sekitar pukul 21:42:20 WIB, saat itu Hutchison dan dua rekannya yang juga berasal dari Sisters Beach, Brad Peters dan Tom Fraser, tengah duduk-duduk di bar restoran yang terletak di lantai 1 bangunan utama resor yang berlantai tiga.
“Bagaimana bila akan terjadi tsunami? Sepertinya kita musti lari ke lantai paling atas gedung ini,” kata Hutchison, seperti diceritakan ibunya, Lynn, kepada ABC.
Benar saja. Selang lima menit, gelombang bergemuruh datang. Tanpa ampun, tsunami sejangkung 3 meter memporak-porandakan bungalow-bungalow di tubir pantai.
Listrik mati. Bersama staf resor dan turis-turis lain dari AS dan Eropa, Hutchison cs. cuma bisa menonton peristiwa mengerikan itu dari lantai 3 bangunan utama. Walaupun kebanyakan wisatawan adalah peselancar, namun kali ini mereka tak yakin benar apakah bisa selamat dari ombak maut.
Di kegelapan, mereka melihat bagaimana ombak memuntahkan segala sesuatu yang menghalanginya. Ada tubuh-tubuh yang terlempar ke wilayah hutan. Beberapa di antaranya menyangkut di dahan pohon kelapa. Ada pula perahu motor yang terempas hingga terbakar.
Untung saja bangunan utama resor tak tumbang digedor ‘beton air’ yang datang bertubi-tubi. Sejak peristiwa gempa dan tsunami besar Aceh 2004, oleh si empunya resor, Mark Loughran, bangunan itu memang dibuat untuk tahan tsunami. Pondasi-pondasinya menggunakan pohon kelapa, sehingga lentur saat diterjang tsunami.
Tak hanya Macaroni’s Resort, malam itu, daerah yang sepanjang musim surfing dipadati sekitar 5000 penggiat olahraga ekstrim itu, kini benar-benar ditimpa musibah yang ekstrim. Seantero pantai barat daya Bumi Sekkerai dihunjam ombak gergasi. Bahkan menurut keterangan saksi mata, ada daerah-daerah yang diterjang tsunami setinggi sekitar 15 meter atau setinggi pohon kelapa.
Mirisnya, bencana ini tak langsung mendapat perhatian publik, karena sulitnya akses informasi dari daerah bencana. Jaringan komunikasi putus, dan daerah di Pulau Pagai belum tersentuh listrik. Sampai Selasa, 26 Oktober pagi, Koordinator Pusat Pengendalian Operasional Penanggulangan Bencana Provinsi Sumatera Barat Ade Edward kepada VIVAnews, masih menyatakan bahwa tidak ada korban jiwa akibat gempa itu.
Hal senada diungkapkan kepala pusat data dan humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Priyadi Kardono. Berita ini pun sempat tertutup oleh bencana letusan Merapi, yang terjadi sehari setelah gempa.
Padahal, efek gempa dan tsunami Mentawai itu lebih besar daripada letusan Merapi saat itu. Rumah-rumah terlihat rata dengan tanah, setidaknya 427 orang meninggal, 75 lenyap, 170 luka berat, 324 luka ringan, dan 15.097 warga di empat kecamatan; Sipora Selatan, Sipora, Pagai Utara, Sikakap, dan Pagai Selatan, mengungsi.
Gempa besar berikut
Menurut ahli paleotsunami Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Danny Hilman Natawidjaya, gempa Senin malam lalu yang berpusat di 78 km barat daya Pagai Selatan itu merupakan rentetan dari gempa 8,4 SR yang terjadi pada 2007. Lokasinya pun berada di bagian utara dari pusat 2007 dan di sebelah selatan lokasi potensi gempa besar, yang sejak jauh-jauh hari, telah diperkirakan para peneliti.
Dari pola gempa-gempa besar di wilayah itu, siklus gempa besar di zona subduksi Mentawai selalu berulang mengikuti siklus 200 tahunan. Gempa terakhir terjadi pada tahun 1797 dan 1833. Karena itulah Danny memperkirakan tak lama lagi bakal ada gempa besar di segmen Mentawai yang meliputi wilayah Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, hingga pertengahan Pulau Pagai Selatan.
Dari hasil kalkulasi Danny, gempa 8,4 SR pada tahun 2007 di wilayah itu, hanya melepaskan tidak lebih dari 1/3 jumlah energi tekanan tektonik yang terakumulasi. Artinya, masih ada sekitar 2/3 energi lagi yang tersimpan, yang bisa memicu gempa 8,8 SR hingga 8,9 SR. Danny memperkirakan potensi gempa di segmen Mentawai itu memiliki energi 30 kali lipat daripada gempa Padang 30 September 2009, yang menewaskan lebih dari 1.100 orang dan meluluh-lantakkan 135.000 rumah penduduk.
Gempa besar Mentawai bisa saja terjadi saat ini, atau bahkan terjadi pada 30 tahun mendatang. Dan masalahnya, gempa di Pagai Selatan pekan lalu sama sekali tak mengurangi potensi gempa 8.8 SR itu, dan boleh jadi justru akan mempercepatnya.
Sayangnya, ancaman yang sudah di depan mata itu, sepertinya tidak diikuti persiapan yang cukup untuk mengantisipasinya. Saat gempa di Pagai Selatan terjadi, tidak ada alat pendeteksi tsunami (buoy) yang berfungsi di daerah ini. Alat yang sedianya dipasang di sekitar Mentawai, ternyata rusak dan belum sempat diperbaiki.
Menurut Direktur Jendral Daerah Pesisir dan Lautan Departemen Kelautan dan Perikanan yang juga pakar pemodelan tsunami, Subandono Diposaptono, alat-alat pendeteksi yang ditempatkan di daerah lain pun mengalami nasib yang kurang lebih sama, dirusak oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab, atau rusak akibat ditempeli trintip (hewan laut) yang mengurangi sensitivitas sensor tersebut.
Deputi Kepala Bidang Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Rizal Djamaluddin mengakui, dari 23 buoy sensor pendeteksi tsunami di seluruh Indonesia, hanya dua yang beroperasi dengan baik, yakni yang kini berada di perairan Simeuleu dan perairan Banda. Sensor buoy baru di sekitar perairan Mentawai, baru akan segera dipasang kembali setelah 7 November 2010.
Sumatera Barat juga baru berencana membangun gedung tahan gempa senilai Rp46 miliar yang akan difungsikan sebagai tempat evakuasi tsunami. Gedung yang menerapkan konsep seismic base isolator itu nantinya akan berlokasi di area Kantor Gubernur Sumatera Barat, Jalan Jenderal Sudirman, Padang. Tapi entah kapan gedung itu benar-benar bisa diselesaikan.
Tak hanya itu, kesiapan pemerintah dalam mengkoordinir masa tanggap darurat juga masih perlu banyak ditingkatkan. Banyak pihak yang mengeluhkan koordinasi penanganan bencana ini. Akibatnya, bantuan sempat menumpuk di daerah Sikakap dan sempat terhambat untuk didistribusikan. Selain itu, berbagai pihak yang turun tangan ke daerah lokasi kerap jalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi.
Padahal, Indonesia yang seringkali disebut sebagai ‘negara supermarket bencana’, mengalami peningkatan potensi bencana yang juga semakin tinggi. Menurut Subandono, gugusan gunung berapi dan zona subduksi di Indonesia yang menjadi daerah rawan bencana letusan vulkanik, gempa dan tsunami, mirip seperti jalur pendulum yang siap ‘meledak’ sewaktu-waktu. Sejak dahulu, gempa-gempa besar di samudra Hindia yang berimbas tsunami, berayun-ayun dari satu titik-ke titik yang lain di jalur bandul maut itu.VIVAnews